MakaAllah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azhab neraka." (Ath Thur 25-27) Ibnu Abu Dunya menyebutkan hadits dari Rabi' bin Shabih dari Hasan dari Anas bin Malik yang meneruskannya dari Rasulullah SAW, "Jika penghuni Surga telah memasuki Surga, maka setiap orang dari mereka merindukan pertemuan dengan saudaranya yang lain.
[ Ustadz Adi Hidayat menyampaikan kabar gembira yang disampaikan Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم. Ustadz Adi menyampaikan hadits Nabi Suatu ketika beliau duduk bersama para sahabat, beliau berkata "Saya sekarang sedang merindukan saudara-saudara saya." Para sahabat bertanya "Ya Rasulullah, bukankah kami saudara-saudaramu?" Kata Nabi "Kalian itu bukan saudara-saudaraku, kalian adalah sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku adalah mereka yang tidak pernah melihatku, tapi mereka beriman kepadaku." Merekalah yang dirindukan Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم. [Video] Begitu Cintanya Nabi Muhammad SAW terhadap Ummat Nya. ~Masih ada juga yg tidak mau merindukan Rasulullah? ~Masih ada juga yg berani membandingkan Rasulullah dgn Manusia biasa? Shollu Alan Nabi Muhammad.. Allahumma shalli Wasallim Wabarik alaih.. 😭 — 🇮🇩MT🔝🆔🇵🇸 MT_Reborn November 18, 2019Haditsini mengisyaratkan dengan jelas bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, adalah seorang rasul dan hambaNya, manusia yang juga akan mengalami kematian sebagaimana lainnya. Ada awal perjumpaan, ada pula perpisahan. Allah Ta'ala berfirman: قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Kita tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga tidak pernah berjumpa dengan kita, sebagai orang yang beriman kepada Rasulullah kita sangat rindu untuk berjumpa dengan beliau dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga rindu berjumpa dengan ummatnya yang datang belakangan. Sebagaimana kedatangan Dr. Zakir Naik ke Makassar membuat kita rindu untuk berjumpa bertemu langsung dengannya, lalu bagaimanakah kerinduan kita untuk berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Salah seorang salaf pernah ditanya”Coba sebutkan kepadaku kenikmatan surga yang paling tinggi“, beliau kemudian menyebutkan”Didalam surga ada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam”. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pernah menyatakan rindunya untuk berjumpa dengan ummatnya, beliau menyatakan tersebut didepan sahabatnya, pernah suatu ketika beliau mengantar salah satu jenassah sahabat, setelah di kubur beliau mengatakan mintalah prtolongan kepada Allah dari azab kubur, mintalah prtolongan kepada Allah dari azab kubur, mintalah prtolongan kepada Allah dari azab kubur. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam kemudian mengatakan“Wahai Abu Bakar, aku begitu rindu hendak bertemu dengan ikhwanku saudara-saudaraku. Sahabat Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata“Apakah maksudmu berkata demikian, wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berkata“Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku, Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku dan mereka mencintai aku melebihi anak dan orang tua mereka. Mereka itu adalah saudara-saudaraku dan mereka bersama denganku. Beruntunglah mereka yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntung juga mereka yang beriman kepadaku sedangkan mereka tidak pernah melihatku.” HR. Muslim Dan bahkan orang yang datang belakangan yang tidak berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mendapatkan pahala yang berlipat ganda disisi Allah Subhanahu wata’ala sebanyak 50 kali lipat karena mereka beriman kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam padahal mereka belum pernah berjumpa dengan beliau, adapun para sahabat keutuamaannya merupakan pilihan Allah Subhanahu wata’ala. Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu”Barangsiapa yang ingin mengambil contoh dan teladan dalam hidupnya hendaknya ia menjadikan orang yang meninggal dari kalangan orang – orang sholeh sebagai contoh baginya, karena orang yang masih hidup tidak aman baginya dari fitnah, mereka adalah sahabat – sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang paling dalam ilmunya, yang paling suci hatinya, yang paling sedikit takallufnya memberat –beratkan diri serta membuat – buat perkara yang baru dalam agama yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah, mereka dipilih oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk menemani Nabinya maka ketahuilah keutamaan mereka”. Akan tetapi ummatnya yang datang belakangan pun mendapatkan keutamaan khusus, para sahabat melihat bagaimana Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Shallallahu alaihi wasallam kemudian melihat mujizatnya Nabi Shallallahu alaihi wasallam adapun kita sebagai ummatnya yang datang belakangan membenarkan apa yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu alaihi wasallam yaitu Al-Qur’an yang merupakan mujizat yang kekal yang dijaga oleh Allah Subhanahu wata’ala sampai hari kiamat. Para sahabat Rasulullah kemudian berfikir jika Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ingin berjumpa dengan ummatnya bagaimana ia mengenalinya, akhirnya sahabat bertanya”Bagaimana anda mengenali mereka nanti dihari kiamat ya Rasulullah.?”, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَيْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ “Menurut pendapat kalian, andai ada orang yang memiliki kuda yang di dahi dan ujung-ujung kakinya berwarna putih dan kuda itu berada di tengah-tengah kuda-kuda lainnya yang berwarna hitam legam, tidakkah orang itu dapat mengenali kudanya?” Para sahabat menjawab “Tentu saja orang itu dengan mudah mengenali kudanya“. Maka Rasulullah menimpali jawaban mereka dengan bersabda فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنَ الْوُضُوءِ، وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ “Sejatinya ummatku pada hari kiamat akan datang dalam kondisi wajah dan ujung-ujung tangan dan kakinya bersinar pertanda mereka berwudlu semasa hidupnya di dunia“. Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam Al-Qur’an يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya kepada mereka dikatakan “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu”. QS. Ali Imran 106. Siapakah yang diputihkan wajahnya oleh Allah Subhanahu wata’ala mereka itulah para pengikut Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang setia. Ini merupakan kabar gembira bagi yang menjaga sholatnya dengan baik, yang menjaga thaharahnya dmana kunci sholat itu adalah bersuci begitupun dengn bekas sujud dalam sholat, kelak akan bercahaya sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengenali ummatnya pada hari kiamat dimana seluruh manusia dikumpulkan. Wallahu A’lam Bish Showaab Oleh Ustadz Harman Tajang, Lc., Hafidzahullahu Ta’ala Direktur Markaz Imam Malik Sabtu, 11 Rajab 1438 H Fanspage Harman Tajang Kunjungi Media MIM Fans page Website Youtube Telegram Instagram ID LINE
Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. SQ. At-Taubah: 128
Hadis 8 Larangan Mendiamkan Saudaranya Lebih Dari Tiga Hari عنْ أبي أَيُّوبَ رَضِيَ الله تَعَالَى عَنْهُ، أنَّ رسولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالَ لَا يَحِلُّ لمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ مُتَّفَقٌ عليهِ Dari Abū Ayyub radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ berkata, “Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr memboikot saudaranya lebih dari 3 malam yaitu 3 hari. Mereka berdua bertemu namun yang satu berpaling dan yang lainnya juga berpaling. Dan yang terbaik diantara mereka berdua yaitu yang memulai dengan memberi salam.”[1] Para pembaca yang dirahmati Allah ﷻ . Sungguh syari’at Islam adalah syariat yang indah, syariat yang menyuruh umatnya untuk mempererat tali persatuan. Allah ﷻ telah berfirman إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” QS. Al-Hujurāt 10 Banyak sekali hadis-hadis yang menganjurkan seorang mukmin untuk menunaikan kewajibannya terhadap saudaranya. Di antara kewajiban seorang mukmin terhadap saudaranya adalah sebagai berikut. Menjawab salam apabila saudaranya memberikan salam. Memenuhi undangan saudaranya. Menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Menghadiri, menyalatkan, dan mengantarkan ke pekuburan jika saudaranya meninggal. Memberikan nasihat kepada saudaranya yang meminta nasihat. Mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan itu untuk dirinya sendiri. Selain perkara-perkara yang diperintahkan untuk menjaga keutuhan tali persaudaraan, syariat Islam juga melarang perkara-perkara yang dapat merusak keutuhan tali persatuan tersebut. Misalnya, Rasulullah ﷺ bersabda, وَلاَ يَبِعِ بعضكم عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يخطب الرجل على خطبة أَخِيهِ “Janganlah seseorang menjual di atas penjualan saudaranya. Janganlah seseorang melamar di atas lamaran saudaranya.” [2] وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا “Janganlah kalian saling hasad iri, janganlah kalian saling membenci.” [3] Dan masih banyak lagi larangan-larangan Rasulullah ﷺ yang tujuannya agar persatuan di antara kaum muslimin dapat terjaga dengan baik. Bahkan dalam Al-Qurān Allah berfirman, وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا “Janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan di antara kalian dan janganlah saling mengghībah diantara kalian.” QS. Al-Hujurāt 12 Dan juga, لا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ “Janganlah sebuah kaum menghina kaum yang lain.” QS. Al-Hujurāt 11 Dalil-dalil ini semua menunjukkan pentingnya untuk mempererat tali persatuan, sampai-sampai Rasulullah ﷺ bersabda, لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman kecuali sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian kepada suatu perkara yang jika kalian melakukannya kalian akan saling mencintai? Maka tebarkanlah salam di antara kalian.”[4] Berdasarkan uraian ringkas tadi, diketahui bahwa praktek hajr memboikot seorang muslim bertentangan dengan ajaran Islam. Namun, sebagai manusia kadang-kadang kita dikuasai hawa nafsu, terkadang bermasalah dengan saudaranya, maka dia pun marah kepada saudaranya terutama pada perkara-perkara dunia, entah dia yang salah atau saudaranya yang salah. Dalam kondisi seperti itu, syariat mengizinkan seorang muslim untuk mendiamkan/meng-hajr saudaranya, tidak ingin bertemu dengan saudaranya itu atau memboikot saudaranya itu. Namun waktu yang diizinkan hanya 3 hari saja. Hal ini menunjukkan bahwa syari’at memperhatikan kondisi kejiwaan manusia yang apabila marah sulit untuk reda, memaafkan, dan melupakan begitu saja. Diperlukan waktu/proses agar segala bentuk kemarahan itu reda dan hilang sehingga kembali ke keadaan normal, bisa menerima, dan memaafkan kesalahan saudaranya. Oleh karena itu syari’at memberikan kesempatan baginya untuk melampiaskan atau untuk membiarkan jiwanya emosi tetapi hanya selama 3 hari saja. Lebih dari itu tidak boleh karena dia punya kewajiban menyatukan tali persaudaraan dengan saudaranya sesama muslim. Maka dari itu Rasulullah ﷺ mengharamkan seseorang meng-hajr saudaranya lebih dari 3 hari. Beliau ﷺ bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr memboikot saudaranya lebih daripada 3 hari.” Dengan demikian, apabila hajr dilakukan lebih dari 3 hari maka hukumnya haram. Sehingga setelah 3 hari, dua orang muslim yang tadinya saling mendiamkan harus sudah saling memaafkan dan bergaul seperti biasa lagi. Bahkan diberikan pujian, bagi siapa yang memulai untuk menyapa saudaranya untuk menghentikan hajr tersebut. Disebutkan oleh Rasulullah ﷺ , “Yang terbaik di antara keduanya orang yang saling meng-hajr adalah yang memulai dengan salam.” Kenapa hal ini dipuji oleh Rasulullah? Karena orang yang memecahkan kebuntuan hubungan dengan memulai memberi salam dan menyapa berarti telah mengalahkan emosi dan egonya keangkuhan jiwanya. Bisa jadi hal seperti itu ia lakukan setelah terjadi pergumulan yang dahsyat di dalam hatinya, seperti, “Saya yang lebih tua, dia yang masih muda,” “Saya adalah Pamannya, dia yang seharusnya minta maaf ke saya.” Kebanyakan orang akan menampakkan egonya ketika terjadi perselisihan. Bahkan pada saat seperti itu setan pasti hadir untuk memanas-manasi keadaan. Karenanya, kebanyakan orang akan mengatakan “Saya yang benar, dia yang salah.” Maka sungguh terpuji orang yang berlaku sebaliknya, memulai memberi salam dan meninggalkan egonya. Apakah seseorang akan mengikuti hawa nafsu dan keangkuhan jiwanya ataukah dia mendahulukan untuk mendapatkan khairiyyah menjadi yang terbaik di sisi Allah ﷻ ? Jika dia ingin menjadi yang terbaik di sisi Allah ﷻ , di antara dia dengan saudaranya, maka hendaknya dialah yang memulai memberi salam kepada saudaranya. Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ . Para ulama berikhtilaf tentang bagaimana menyelesaikan hajr. Jumhur mayoritas ulama mengatakan, “Jika mereka bertemu dan sudah saling memberi salam, maka hajr dianggap telah berakhir.” Dengan demikian mereka sudah keluar dari yang diharamkan Rasulullah ﷺ . Inilah pendapat kebanyakan ulama, karena Rasulullah ﷺ mengatakan, “Yang terbaik adalah yang memulai dengan salam.” Namun sebagian ulama mengatakan, “Tidak cukup hanya dengan memberikan salam. Dia hanya bisa keluar dari perkara yang haram kecuali jika kembali ke kondisi seperti sediakala.” Artinya, percuma kalau dia memberi salam tetapi wajahnya muram atau hatinya jengkel. Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, “Tidak, hajr tidak berakhir, kecuali setelah dia kembali seperti sedia kala”; yaitu senyum dengan hati yang bersih dan tidak ada dendam dan kemarahan. Allahu a’lam bish-shawāb, pendapat yang lebih benar adalah pendapat jumhur ulama karena kalau harus kembali seperti sediakala ini bukan perkara yang ringan, bahkan mungkin sangat susah. Seperti kata sebagian orang, “Kalau hati sudah terlanjur terluka maka sulit untuk kembali lagi. Seperti kaca yang sudah terlanjur pecah maka sulit untuk disambung kembali.” Oleh karenanya, Wallahu a’lam bish-shawāb, pendapat yang lebih benar adalah pendapat jumhur ulama, yaitu cukup jika dia memberi salam, maka hajr tersebut berakhir dan dia telah keluar dari yang diharamkan Rasulullah ﷺ . Ingatlah firman Allah ﷻ , وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ “Tidak sama antara kebaikan dan keburukan, maka balaslah dengan cara yang terbaik. Maka orang yang antara engkau dengan dia ada permusuhan, tiba-tiba dia menjadi teman yang dekat. Namun akhlak seperti ini membalas keburukan dengan kebaikan tidaklah dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang bersabar dan tidak diberikan kecuali kepada orang yang mendapatkan keuntungan yang besar.” QS. Fushilat 34-35 Ini merupakan pujian yang istimewa dari Allah bagi orang yang sanggup mengalahkan hawa nafsunya untuk memulai salam meskipun dia yang salah atau saudaranya yang salah. Hal demikian tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Maka orang yang bisa berbuat demikian adalah orang yang telah mendapatkan keberuntungan yang besar sebagaimana firman Allah ﷻ di atas. Semoga Allah ﷻ senantiasa menyatukan hati-hati seluruh kaum muslimin. Para pembaca yang dirahmati Allah ﷻ , Rasulullah ﷺ melarang seseorang untuk meng-hajr saudaranya lebih dari 3 hari. Namun, para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah apabila bahwa hajr tersebut sebabnya berkaitan dengan perkara duniawi. Adapun meng-hajr orang lain karena perkara agama maka ini boleh lebih dari 3 hari. Sebagaimana meng-hajr/memboikot pelaku bidah atau pelaku maksiat, maka boleh lebih dari 3 hari. Memboikot pelaku maksiat atau pelaku bidah adalah dengan mempertimbangkan 2 kemaslahatan, yaitu kemaslahatan yang berkaitan dengan pelaku bidah itu sendiri, dan kemaslahatan yang berkaitan dengan pihak yang meng-hajr. Pertama, kemaslahatan yang berkaitan dengan pelaku bidah atau pelaku maksiat, maka kita meng-hajr dia sampai dia bertobat kepada Allah ﷻ . Dalil akan simpulan ini adalah kisah Ka’ab bin Mālik RA tatkala tidak ikut serta dalam perang Tābuk tanpa alasan yang syar’i. Maka, beliau pun di-hajr oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya sampai sekitar 50 hari. Sehingga Allah turunkan ayat yang menjelaskan bahwasanya Allah menerima taubat Ka’ab bin Mālik RA, baru kemudian Rasulullah ﷺ menghentikan praktek hajr-nya. Hajr dialami Ka’ab bin Mālik RA ini dijadikan dalil oleh para ulama yang berbicara tentang masalah hajr. Mereka semuanya berdalil dengan kisah ini. Hal ini menunjukkan bahwa masalah meng-hajr pelaku maksiat sama dengan masalah meng-hajr pelaku bidah dengan tetap melihat kepada kemaslahatan dan kemudaratan. Para pembaca yang dirahmati oleh Allahﷻ , mengapa kita mengatakan bahwa praktek hajr memboikot pelaku bidah atau pelaku maksiat harus melihat maslahat dan mudarat? Karena, masalah memboikot pelaku bidah atau pelaku maksiat adalah bagian dari pengamalan ajaran al-amr bil ma’ruf wa nahyi anil munkar amar makruf nahi mungkar. Para ulama telah sepakat bahwa pijakan amar makruf nahi mungkar adalah di atas kemaslahatan. Apabila penerapan amar makruf nahi mungkar diasumsikan akan memberikan kemaslahatan, maka dilakukan. Sebaliknya, jika penerapan amar makruf nahi mungkar menimbulkan kemudaratan yang lebih buruk daripada kemungkaran yang sudah ada, maka hendaknya ditinggalkan. Oleh karenanya, masalah meng-hajr pelaku bidah atau pelaku maksiat pada zaman sekarang tidaklah mudah untuk dikerjakan. Karenanya, sesuai dengan konteks ini, Syekh Albani rahimahullāh pernah berkata, الهَجْرُ لاَ يَحْسُنُ أَنْ يُطَبَّقَ فِي هَذَا الْعَصْرِ لِأَنَّ أَهْلَ الْبِدَعِ هُمُ الْغَالِبُوْنَ “Meng-hajr pelaku bidah tidak layak untuk diterapkan pada zaman sekarang ini karena mereka ahlul bidah yang lebih mendominasi.” Berbeda halnya dengan zaman Imam Ahmad bin Hanbal. Di zaman A’imatussalaf para imam generasi salaf rahimahumullah dahulu, dimana ahlus sunah banyak dan ahlul bidah-nya sedikit. Sehingga kalau ahlus sunah memboikot ahlul bidah, maka ahlul bidah akan terpuruk dan akhirnya melepaskan bidah yang dia lakukan karena dia akan merasa terjepit sebab diboikot oleh kebanyakan orang. Demikian juga para pelaku maksiat. Para pelaku maksiat dulu jika diboikot mereka berhenti dari maksiatnya. Namun sekarang kondisinya berbeda. Sekarang pelaku maksiat dan pelaku bidah jumlahnya banyak. Maka jika seseorang memaksa untuk memboikot pelaku bidah justru dia yang terboikot, sehingga tidak ada maslahat yang ia wujudkan. Yang lebih tepat untuk dilakukan sekarang ini, wallahu a’lam, seseorang perlu mendekati pelaku maksiat untuk mendakwahinya, mengambil tangannya, dan berbicara dengannya agar ia mau meninggalkan kemaksiatannya. Demikian juga terhadap ahli bidah. Seorang yang merasa mampu hendaknya mendatangi ahli bidah tersebut. Terutama ahlul bidah yang awam bukan ahlul bidah yang penyeru. Kemudian dia dakwahi, diajak ngobrol, dan diberi masukan. Sehingga diperoleh manfaat bagi pelaku bidah tersebut. Barangkali kita perlu juga berkaca dengan keadaan kita sendiri. Dahulu sebelum kita mengenal manhaj Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, mungkin sebagian dari kita juga terpuruk dalam sebagian bidah. Bagaimana kita mendapatkan hidayah? Ternyata kita mendapat hidayah bukan karena diboikot oleh kalangan ahlus-sunah, melainkan karena izin dari Allah ﷻ dengan perantaraan seorang pemuda ahlus-sunah yang mendekati kita kemudian mengajak untuk mengobrol, memberikan masukan, dan mendakwahi kita dengan cara yang baik. Maka dengan izin Allah kita kemudian sedikit demi sedikit mampu meninggalkan berbagai bentuk bidah dan maksiat yang mungkin pada saat itu kita anggap sebagai hal yang lumrah. Karenanya, meng-hajr pelaku maksiat dan pelaku bidah, terutama di zaman kita sekarang ini, harus benar-benar memperhatikan maslahat dan mudaratnya. Jika meng-hajr orang yang tidak salat misalnya, hanya akan semakin menjauhkannya dari salat, maka lebih baik kita memilih cara lain selain meng-hajr-nya. Barangkali dengan pendekatan lain akan menyadarkannya dan membuatnya kembali melaksanakan salat. Jadi kita tidak menerapkan hajr, meskipun sebenarnya disyariatkan untuk meng-hajr orang yang tidak salat. Kedua, praktek hajr juga memperhatikan kemaslahatan pihak yang men Orang yang akan meng-hajr hendaknya memperhatikan kondisi dirinya. Jika ia beberharapadapan dengan seorang penyeru bidah yang memiliki pengetahuan seputar dalil atau memiliki syubhat yang membahayakan, maka hendaknya dia menjauh jika dia khawatir syubhatnya itu akan mempengaruhi dirinya. Hendaknya ia menghindari orang tersebut, jangan mendengarkan ceramahnya dan jangan menghadiri kajiannya. Namun jika pelaku bidah itu hanya pelaku bidah yang biasa, dari kalangan awam, tidak punya syubhat dan tidak mengerti, maka orang seperti ini lebih utama untuk didekati, diajak mengobrol dan dinasihati. Mudah-mudahan dengan cara demikian, ia mau kembali ke jalan yang lurus. Kesimpulannya, meng-hajr ahli bidah atau pelaku maksiat disyariatkan meskipun lebih dari 3 hari, karena tujuannya adalah memberi pelajaran kepada pelaku bidah tersebut atau untuk menyelamatkan diri kita agar tidak terjerumus ke dalam bidahnya. Namun terakhir yang saya ingatkan, Ikhwan dan Akhwat pembaca yang dirahmati Allah, banyak orang mempraktikkan hajr terhadap saudaranya, sebenarnya karena tendensi duniawi. Namun karena mereka memperpanjang praktek hajr tersebut, maka mereka membumbui seakan-akan mereka meng-hajr karena syariat, padahal hakikatnya hanya karena perkara dunia. Oleh karenanya, orang yang meng-hajr dengan menganggap ini adalah perkara akhirat padahal kenyataannya karena perkara dunia, ini adalah perkara yang berbahaya. Para pembaca, Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allah ﷻ , Dikatakan bahwasanya bisa jadi seorang yang meng-hajr/memboikot/tidak menyapa saudaranya karena perkara dunia. Terkadang setan datang lantas menghiasi seakan-akan yang dia lakukan adalah perkara syariat, padahal bukan sama sekali. Akan tetapi karena hawa nafsunya, bukan karena ingin mendidik orang yang tidak dia sapa tersebut, atau karena ingin menyelamatkan dirinya, tapi karena hanya ingin memuaskan hawa nafsu. Dan saya ingatkan sebagaimana juga diingatkan oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, betapa banyak orang yang meng-hajr saudaranya karena perkara dunia, namun dia membawakannya dalam “casing” seakan-akan dia meng-hajr karena perkara akhirat. Maka hajr seperti ini hukumnya haram. Telah disebutkan di depan bahwa meng-hajr saudaranya lebih dari 3 hari hukumnya adalah haram. Bahkan sebagian ulama memasukkannya ke dalam dosa besar. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan akan bahayanya perkara ini adalah sebagai berikut. Pertama, Hadis dari Abū Hurairah radhiallahu anhuو أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمُ الاثْنَيْنِ وَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لا يُشْرِكُ بِالله شَيْئًا إِلا رَجُلا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا Bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda “Telah dibukakan pintu-pintu surga setiap hari Senin dan Kamis. Maka seluruh hamba yang tidak berbuat syirik kepada Allah sama sekali akan diberi ampunan oleh Allah, kecuali seseorang yang punya permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan kepada para malaikat, Tangguhkanlah dari ampunan Allah dua orang ini hingga keduanya berdamai’.”[5] Hadis ini merupakan kabar gembira sekaligus menunjukkan keutamaan orang-orang yang bertauhid tidak berbuat syirik kepada Allah ﷻ . Bergembiralah bagi para pembaca yang selalu berusaha menjauhkan diri dari segala bentuk kesyirikan, baik syirik besar maupun syirik kecil, meskipun banyak maupun sedikit. Untuk mereka yang berusaha selalu memurnikan tauhid kepada Allah, Allah akan memberikan ganjaran pada setiap hari Senin dan Kamis, yaitu dibukakan pintu-pintu surga dan diberi ampunan. Tetapi hadis ini juga menjelaskan bahwa ternyata ada orang-orang yang bertauhid yang rugi pada hari Senin dan Kamis karena tidak mendapat ampunan dari Allah. Mereka bertauhid, namun mereka dalam keadaan bermusuhan dengan saudaranya. Oleh karenanya, Rasulullah ﷺ mengatakan “Kecuali seorang yang antara dia dengan saudaranya ada permusuhan,” maka dikatakan, “Tangguhkanlah ampunan pada kedua orang ini sampai mereka berdua berdamai.” Ini merupakan kerugian yang sangat besar bagi orang yang bertengkar dengan saudaranya. Akibat bermusuhan kepada saudaranya, ia terhalangi dari ampunan yang Allah anugerahkan setiap hari Senin dan Kamis. Kedua, Hadis shahīh yang diriwayatkan oleh Abū Dāwud dan dishahīhkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullāh. وَعَن أَبِي خِرَاش السُّلَمِي رَضِيَ اللهُ عَنهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ هَجَرَ أَخَاهُ سَنَةً فَهُوَ كَسَفْكِ دَمِهِ Dari Abū Khirāsh As-Sulamiy RA, sesungguhnya dia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa yang memboikot/meng-hajr saudaranya selama setahun, maka seakan-akan dia telah menumpahkan darah saudaranya itu.”[6] Hadis ini merupakan ancaman yang sangat berat bagi pelaku hajr yang melampaui batas. Disebutkan bahwa setahun meng-hajr saudaranya adalah seakan-akan telah membunuh saudaranya itu. Betapa beratnya ancaman ini karena kita tahu bahwa membunuh adalah dosa yang sangat besar. Karena itu hadis Ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa menghajr saudara sampai satu tahun termasuk dosa besar. Bagaimana tidak, bukankah seharusnya dua saudara itu saling mencintai, saling menyayangi, saling menasihati, saling menginginkan kebaikan kepada yang lain, saling mengunjungi, dan sebagainya. Tetapi semua itu tidak dilakukan karena adanya hajr yang melampaui batas. Terkadang hajr dikesankan seakan-akan didasarkan pada perkara-perkara syariat, sehingga dengan itu seseorang dapat meng-hajr saudaranya untuk waktu yang panjang, lebih dari 3 hari. Namun seringkali hal itu hanyalah pengelabuan setan saja. Hajr yang dilakukan tidak lain adalah karena egonya, emosinya, hasadnya, dan sebagainya. Maka hal seperti itu hukumnya seperti “menumpahkan darah”, yaitu dosa besar. Wallahu a’lam. Ketiga, Hadis yang juga dihasankan oleh Syekh Al-Albani rahimahullāh. عَن ابنِ عَبَاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنهُمَا قالقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَ سَلَّمَ ثَلَاثَةٌ لَا تُرْفَعُ لهم صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ Dari Ibnu Abbas radhiyallahu Ta’āla anhumā, ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, Ada tiga golongan orang yang salat, di mana salat mereka tidak akan terangkat di atas kepala mereka meskipun hanya sejengkal, yaitu seorang yang menjadi imam salat bagi suatu kaum padahal kaumnya itu benci kepadanya, seorang wanita yang dia tidur sementara suaminya dalam keadaan marah kepadanya, dan dua orang saudara yang saling bermusuhan saling meng-hajr.[7] Hadis ini juga menunjukkan kerugian bagi orang yang meng-hajr. Yaitu hajr yang dilakukan bukan karena alasan syar’i, tetapi hajr karena dorongan hawa nafsu, lebih dari tiga hari bermusuhan, karena tidak ingin dirinya dibantah atau karena hobinya membantah, dan lain-lain meskipun ia mengesankan bahwa hajr yang ia lakukan adalah karena perkara agama. Maka dari itu, seluruh hajr dan boikot yang tidak syar’i menyebabkan seseorang tidak diterima salatnya, sebagaimana hadis yang dihasankan oleh Syekh Al-Albani rahimahullāh di atas. Oleh karena itu, Pembaca yang dirahmati Allah ﷻ , hendaknya seseorang mengingat akan hari akhirat. Hendaknya pula setiap mukmin berlapang dada menghadapi berbagai permasalahan yang timbul dalam pergaulannya sehari-hari. Perlu disadari bahwa di dunia ini memang tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Jika seseorang marah kepada saudaranya maka silakan marah. Boleh saja ia jengkel dan cuek kepada saudaranya, tetapi syariat yang agung ini hanya membatasi sampai waktu 3 hari saja. Tidak boleh lebih. Setelah lewat dari waktu yang ditentukan itu, hendaknya seorang muslim memaafkan saudaranya. Akan sangat afdal jika ia yang memulai memberi salam kepada saudaranya yang didiamkan itu. Ingatlah bahwa kehidupan akhirat jauh lebih indah. Tidak mungkin seseorang akan mendapatkan kenikmatan akhirat kecuali dengan bersabar terhadap problematika kehidupan di dunia ini. Footnote __________ [1] HR. Bukhari no. 6077 dan Muslim no. 2560 [2] HR. Muslim no. 1412, dari Ibnu Umar [3] HR. Muslim no. 2564 [4] HR. Muslim no. 54 [5] HR. Muslim no. 2565 [6] HR. Ahmad no. 17935, Abu Daud no. 4915 dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Sunan Abi Dawud no. 4915 [7] HR. Ibnu Majah I/311 no. 971, dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Misyakatul Mashabih no. 1128 Kamusemua adalah sahabat-sahabatku, tetapi bukan saudara-saudaraku." Suara Baginda Rasulullah bernada rendah. "Kami juga saudaramu, wahai Rasulullah," kata seorang sahabat yang lain. Rasulullah Masya Allah, kerinduan Nabi sebagaimana diceritakan dalam riwayat di atas benar-benar mengguncang hati kita terutama bagi mereka yang beriman kepada beliau. Meski menjadi pemimpin umat manusia dan pemilik kemuliaan, beliau tidak segan-segan menyatakan kerinduannya kepada umatnya.Iklan HADIS TENTANG SESEORANG BERSAMA ORANG YANG DICINTAI 1. Hadis tersebut adalah hadis sahih Riwayat Bukhari 6169 dan Muslim 2640 dari Ibnu Masud Nabi SAW bersabda جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ تَقُولُ فِي رَجُلٍ أَحَبَّ قَوْمًا وَلَمْ يَلْحَقْ بِهِمْ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ Dari Ibnu Mas’ud ia berkata “Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah lalu berkata “Ya Rasulullah, bagaimanakah pendapat Rasul mengenai seorang yang mencintai sesuatu kaum, tetapi tidak pernah menemui kaum itu?” Rasulullah bersabda “Seorang itu berserta orang yang dicintainya.” Dalam hadis riwayat Anas, Nabi bersabda أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ Ertinya “Engkau bersama orang atau golongan yang engkau cintai.” Dalam sebuah hadis sahih menurut Al-Mundziri riwayat Tabrani dari Ali, Nabi bersabda وَلَا يُحِبُّ رَجُلٌ قَوْمًا إِلَّا حُشِرَ مَعَهُمْ Ertinya “Seseorang tidak akan mencintai suatu kaum kecuali akan dikumpulkan bersama mereka.” MENCINTAI ADA TIGA JENIS Mencintai seseorang, golongan atau kelompok tertentu dapat dibahagikan kepada tiga jenis MENCINTAI KERANA AGAMA Pertama, cinta ideologi dan keyakinan agama. Yakni, mencintai atau menyukai seseorang atau kelompok tertentu kerana faktor ideologi dan keyakinan. Misalnya, mencintai ulama kerana kesolehan dan ketaatannya pada ajaran agama. Atau, cinta pada Karl Marx menyukai ideologi atheis-nya. Maka, cinta seperti ini dapat membawanya berkumpul dengan orang yang dicintainya kelak di akhirat. Yang cinta Rasul dan ulama akan bersama Rasul dan para ulama di syurga. Sedang yang cinta Karl Marx akan bersamanya kelak di neraka. Dalam konteks inilah ada penjelasan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, hlm. 10/555 قَوْلُهُ إِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ أَيْ مُلْحَقٌ بِهِمْ حَتَّى تَكُونَ مِنْ زُمْرَتِهِمْ وبهذا يندفعُ إيراد أنَّ منازلهم متفاوتةٌ، فكيف تصحُّ المعيةُ؟! فيُقالُ إنَّ المعيةَ تحصلُ بمجرد الاجتماع في شيءٍ ما، ولا تلزمُ في جميع الأشياء، فإذا اتَّفقَ أنَّ الجميعَ دخلوا الجنةَ صدَقَتِ المعيةُ، وإنْ تفاوتَتِ الدرجاتُ Ertinya Kalimat “Engkau bersama orang yang kamu cintai” maksudnya dipertemukan dengan mereka sehingga kamu menjadi golongan mereka. Ibnu Battal dalam Syarah Sahih Al-Bukhari, hlm. 9/333, menyatakan sebagai penjelasan maksud hadis di atas بيان هذا المعنى أنه لما كان المحب للصالحين إنما أحبهم من أجل طاعتهم لله ، وكانت المحبة عملا من أعمال القلوب ، واعتقادًا لها ، أثاب الله معتقد ذلك ثواب الصالحين ، إذ النية هي الأصل ، والعمل تابع لها ، والله يؤتي فضله من يشاء Ertinya Penjelasan dari makna ini adalah ketika seorang mencintai orang-orang solih, di mana dia mencintai mereka kerana ketaatan mereka pada Allah sedang cinta itu merupakan perbuatan hati dan keyakinan hati maka Allah memberi pahala padanya sebagaimana pahala orang-orang solih yang dicintainya. Kerana niat itu adalah yang asal sedang amal itu mengikuti niat. MENCINTAI DAN MENIRU PERBUATAN ORANG YANG DICINTAI Kedua, cinta yang menyebabkan seseorang meniru dan meneladani perbuatan orang yang dicintainya. Misalnya, orang yang cinta seorang alim atau para ulama dan meneladani perbuatan mereka, maka dia akan masuk syurga bersama para ulama. Sedangkan orang yang cinta orang fasiq atau kafir lalu meniru perbuatan mereka yang maksiat maka dia akan diseksa sebagaimana mereka. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin, hlm. 2/160, menyatakan قال الحسن يا ابن آدم ! لا يغرنك قول من يقول المرء مع من أحب فإنك لن تلحق الأبرار إلا بأعمالهم ، فإن اليهود والنصارى يحبون أنبياءهم وليسوا معهم ، “ Ertinya Al-Hasan berkata Wahai manusia, janganlah terpedaya dengan ucapan “Seseorang bersama orang engkau tidak akan bertemu dengan orang-orang baik kecuali dengan amal perbuatan. Kerana orang Yahudi dan Nasrani mencintai para Nabi mereka tetapi mereka tidak bersama Nabinya. MENCINTAI KERANA FAKTOR DUNIAWI -BUKAN AGAMA Ketiga, cinta duniawi. Mencintai sesama manusia ada ikatan batin yang bersifat duniawi seperti kekerabatan, keuntungan harta, perkahwinan atau sebab-sebab duniawi lainnya. Misalnya anak Muslim mencintai ibunya yang kafir atau anak Muslim menyukai muzik yang dinyanyikan bukan Muslim maka itu tidak menjadi sebab mereka akan dikumpulkan di akhirat. Jadi, kecintaan dan kesukaan yang bersifat duniawi dan tidak mempengaruhi orang itu untuk berbuat baik atau buruk maka tidak akan berakibat orang itu dikumpulkan bersama orang yang dicintai kelak di akhirat. Jadi, cinta jenis ketiga ini tidak masuk dalam makna hadis di atas. Al-Zarqani dalam Syarah Al-Zarqani ala Al-Mawahib Al-Laduniyah bil Minah Al-Muhammadiyah, hlm. 5/304, menyatakan قال الحسن البصري من أحبَّ قومًا اتبع آثارهم ، واعلم أنك لن تلحق بالأخيار حتى تتبع آثارهم ، فتأخذ بهديهم ، وتقتدي بسنتهم ، وتصبح وتمسي على مناهجهم ، حرصًا أن تكون منهم Ertinya Al-Hasan Al-Basri berkata Barang siapa yang mencintai suatu kaum maka ia akan mengikuti perilakunya. Ketahuilah, bahawasanya engkau tidak akan dipertemukan dengan orang-orang pilihan kecuali kalau mengikuti perilaku mereka, meneladani perbuatan mereka pagi dan petang kerana keinginan untuk menjadi seperti mereka. KESIMPULAN Menyukai orang yang taat itu sudah mendapat pahala, menyukai mereka dan meniru perbuatan mereka akan membuat kita dikumpulkan di syurga bersama mereka. Begitu juga, menyukai dan meniru perbuatan orang kafir dan fasiq yang terlarang akan membuat kita mendapat dosa. Adapun kesukaan yang bersifat duniawi tetapi pada batas-batas tertentu yang tidak sampai membuat kita meniru perbuatan yang haram, maka itu tidak termasuk dalam makna hadis di atas. Allahu a’lam.Artinya: Surga itu merindukan kepada 4 golongan: orang yang membaca Al Quran, orang yang menjaga lidah, orang yang memberi makan orang yang sedang kelaparan, dan orang-orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan. Dari hadist diatas dijelaskan bahwa 4 golongan yang dirindukan surga adalah sebagai berikut : Orang yang senantiasa membaca alqur'an. Jakarta, NU OnlinePengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor, Jawa Barat KH M. Luqman Hakim menegaskan bahwa kerinduan Rasulullah SAW melebihi rindu setiap umatnya. Sebab itu ia menegaskan, setiap umat Islam dianjurkan memperbanyak baca shalawat kepada rindu Nabi Muhammad tersebut, Kiai Luqman mengisahkan sebuah cerita seperti dikutip NU Online, Jumat 15/2 lewat Twitter-nya, sebagai berikut“Saya sangat kangen Kanjeng Nabi, Kiai," kata santri."Lah Nabi lebih kangen kamu daripada kangenmu.""Duhhh saya nggak pernah membalas cintanya, Kiai.""Kangenmu itu sudah merupakan balasan cintamu. Karena kamu tak akan pernah bisa balas cintanya. Maka shalawatlah yang banyak."Direktur Sufi Center itu menegaskan bahwa Allah SWT dan para malaikat bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.“Shalawat, shalawat, shalawat, di Majelisnya Allah dan para Malaikat. Jika Anda mengaku orang beriman, bergabunglah dalam lantunan shalawat kepada Kekasih-Nya,” tandas Kiai Luqman. Fathoni .